Jumat, 15 Juni 2012

Menyiapkan Generasi Perakit Pesawat

Ester Lince Napitupulu

Pesawat Jabiru 430 berkapasitas empat orang itu sudah setahun ini terpakir di bengkel perakitan pesawat terbang Swayasa di SMKN 12 Bandung, Jawa Barat. Di bagian depan pesawat tertera tulisan ”Jabiru SMKN 12 Bandung”.

Pesawat itu dirakit sendiri oleh siswa dan guru SMKN 12 Bandung. Kehadiran pesawat itu jadi bukti bahwa sekolah penerbangan yang berfokus pada keahlian industri manufaktur pesawat terbang ini kelak mampu berkiprah di industri pesawat terbang.

Kesuksesan perakitan pesawat buatan Australia ini dikerjakan secara tim oleh siswa dari program keahlian permesinan pesawat udara, konstruksi badan pesawat udara, konstruksi rangka pesawat udara, kelistrikan pesawat udara, elektronika pesawat udara, dan airframe & powerplant. Program-program keahlian ini menyiapkan siswa untuk terjun dalam industri manufaktur pesawat terbang.

Meskipun pesawat rakitan siswa SMKN 12 Bandung menimbulkan decak kagum banyak pihak, tetap saja pihak sekolah merasa belum puas. Sebab, pesawat yang sudah dirakit sesuai buku petunjuk dan secara teknis sudah berfungsi baik harus dibuktikan layak terbang dulu.

”Kami akan sangat senang kalau tes terbang nanti membuktikan pesawat rakitan siswa bisa terbang dengan baik,” kata Tedi Rosadi, Ketua Tim Perakitan Pesawat Jabiru 430 SMKN 12 Bandung.

Mimpi besar SMKN 12 Bandung yang belum berujung ialah menunggu kabar pesawat Jabiru bisa tes terbang untuk mendapatkan sertifikat kelaikan pesawat (certificate of airworthiness) dan sertifikat registrasi dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara.

Proses pengajuan tak lama seusai pesawat rakitan selesai, yang diproses Sekolah Pilot Alfa Flying Club di Jakarta.

Kepala SMKN 12 Bandung Edy Purwanto mengatakan, untuk izin pengadaan pesawat juga sekolah bekerja sama dengan Alfa Flying School. ”Dulu siswa hanya belajar pesawat simulator. Tetapi sekarang ada kesempatan untuk bisa terlibat merakit sejak awal,” kata Edy.

Sempat diragukan

Awalnya keinginan merakit sendiri pesawat di SMK diragukan banyak pihak. Nyatanya, ini justru jadi pemicu bagi sekolah penerbangan untuk bisa menunjukkan kompetensinya.

Tedi menjelaskan, pemilihan pesawat Jabiru disesuaikan dengan perkembangan di dunia dari jenis logam aluminium ke komposit. Pesawat ini bersayap tetap sehingga faktor keamanan jauh lebih tinggi.

”Kalau pas terbang ada masalah, pesawat masih bisa melayang-layang,” ujar Tedi.

Selain itu, jumlah pesawat Jabiru di Indonesia juga cukup banyak. Federasi Aero Sport Seluruh Indonesia mencatat ada 13 unit. Hal ini memudahkan pihak sekolah untuk belajar dalam perakitan pesawat sejenis.

”Dengan empat penumpang, kami mau memberi kesempatan untuk mengajak siswa terbang. Ini supaya mereka mencintai kedirgantaraan,” lanjutnya.

Menurut Tedi, siswa punya kesempatan belajar pesawat yang sesungguhnya. Mereka bisa melihat pesawat yang dirakit berfungsi baik. ”Tinggal menunggu terbang saja,” ujarnya.

Sebelum merakit pesawat di sekolah, guru dan siswa berlatih di PT Dirgantara Indonesia (DI) Bandung. Lalu, proses perakitan dimulai di sekolah. Tim siswa yang dibentuk sekolah serta guru didampingi pegawai dari PT DI tiap kali perakitan.

Tim perakit pesawat Jabiru dibagi dua gelombang yang masing-masing melibatkan 10 siswa. Mereka bekerja seusai jam belajar, pukul 16.00-20.00.

Meskipun pesawat Jabiru sudah terakit sempurna, sekolah tetap menyiapkan generasi perakit berikutnya. Ada 11 siswa yang masuk ke tim ini.

Ignatius Slamet, Wakil Kepala SMKN 12 Bidang Hubungan Industri dan Masyarakat, mengatakan, generasi perakit Jabiru yang baru tetap disiapkan sekolah. Tujuannya untuk transfer ilmu.

”Kami selalu siapkan tim untuk mengantisipasi jika ada kebutuhan tenaga perakitan pesawat,” ujar Ignatius.

Pemeliharaan pesawat

Oleh karena SMKN 12 Bandung sudah memiliki pesawat yang perlu perawatan, mulai tahun ajaran 2012 dibuka jurusan pemeliharaan pesawat atau maintenance. Keahlian ini diperlukan seiring dengan pertambahan jumlah pesawat di Indonesia.

Menurut Edy, dulu di Indonesia ada industri manufaktur pesawat terbang sehingga membutuhkan tenaga madya setingkat SMK. Namun, sekarang tidak menonjol lagi, lebih pada pembuatan komponen-komponen saja.

Lulusan SMKN 12 bukan hanya diburu industri pesawat terbang dan perusahaan penerbangan. Industri otomotif hingga perkeretaapian juga melirik lulusan sekolah ini.

Kalau ada pekerjaan yang overload di industri penerbangan, ada juga yang dikerjakan di sekolah ini dengan melibatkan siswa. Tentu saja tetap diawasi teknisi berlisensi.

Butuh lisensi

Bekerja di industri pesawat terbang atau perusahaan penerbangan butuh lisensi. Tanpa lisensi, lulusan hanya berstatus sebagai helper teknisi berlisensi. Untuk bisa mendapat lisensi, harus ada pengalaman kerja di perusahaan sejenis dan usia minimal 19 tahun.

Di Indonesia ada program SMK +1 atau +2, tetapi implementasinya semacam diploma. Yang dibutuhkan bukan ijazah diploma, melainkan lisensi, yakni kemampuan terhadap kompetensi siswa.

Edy berharap Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dapat membantu siswa SMK penerbangan agar bisa mendapat lisensi. Ini untuk mengangkat martabat bangsa dengan memiliki lulusan SMK penerbangan yang berlisensi sesuai kompetensinya.

Demi memperjuangkan dapat lisensi, sekolah bekerja sama dengan salah satu lembaga aviasi di Malaysia. Dalam waktu dekat, 25 siswa akan mengikuti program ini ke Malaysia. Biayanya Rp 40 juta-Rp 50 juta, termasuk biaya hidup dan pelatihan.

Sekolah menyambut baik tawaran Malaysia ini. Siswa menamatkan tiga tahun di SMK, lalu belajar enam bulan di Malaysia, sambil on the job training di Malaysia untuk dapat sertifikat. Kalau diteruskan dalam satu tahun lagi dapat lisensi.

Menurut Edy, SMKN 12 Bandung memiliki kompetensi lengkap untuk mendukung industri pesawat terbang dalam negeri, seperti cita-cita awal pendirian sekolah ini. Jadi keahlian lengkap dari produksi sampai ke pemeliharaan.

Permintaan akan tenaga maintenance juga tinggi. Ini disebabkan pesawat-pesawat harus dipelihara untuk menjamin keselamatan penerbangan.
Ester Lince Napitupulu

Pesawat Jabiru 430 berkapasitas empat orang itu sudah setahun ini terpakir di bengkel perakitan pesawat terbang Swayasa di SMKN 12 Bandung, Jawa Barat. Di bagian depan pesawat tertera tulisan ”Jabiru SMKN 12 Bandung”.

Pesawat itu dirakit sendiri oleh siswa dan guru SMKN 12 Bandung. Kehadiran pesawat itu jadi bukti bahwa sekolah penerbangan yang berfokus pada keahlian industri manufaktur pesawat terbang ini kelak mampu berkiprah di industri pesawat terbang.

Kesuksesan perakitan pesawat buatan Australia ini dikerjakan secara tim oleh siswa dari program keahlian permesinan pesawat udara, konstruksi badan pesawat udara, konstruksi rangka pesawat udara, kelistrikan pesawat udara, elektronika pesawat udara, dan airframe & powerplant. Program-program keahlian ini menyiapkan siswa untuk terjun dalam industri manufaktur pesawat terbang.

Meskipun pesawat rakitan siswa SMKN 12 Bandung menimbulkan decak kagum banyak pihak, tetap saja pihak sekolah merasa belum puas. Sebab, pesawat yang sudah dirakit sesuai buku petunjuk dan secara teknis sudah berfungsi baik harus dibuktikan layak terbang dulu.

”Kami akan sangat senang kalau tes terbang nanti membuktikan pesawat rakitan siswa bisa terbang dengan baik,” kata Tedi Rosadi, Ketua Tim Perakitan Pesawat Jabiru 430 SMKN 12 Bandung.

Mimpi besar SMKN 12 Bandung yang belum berujung ialah menunggu kabar pesawat Jabiru bisa tes terbang untuk mendapatkan sertifikat kelaikan pesawat (certificate of airworthiness) dan sertifikat registrasi dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara.

Proses pengajuan tak lama seusai pesawat rakitan selesai, yang diproses Sekolah Pilot Alfa Flying Club di Jakarta.

Kepala SMKN 12 Bandung Edy Purwanto mengatakan, untuk izin pengadaan pesawat juga sekolah bekerja sama dengan Alfa Flying School. ”Dulu siswa hanya belajar pesawat simulator. Tetapi sekarang ada kesempatan untuk bisa terlibat merakit sejak awal,” kata Edy.

Sempat diragukan

Awalnya keinginan merakit sendiri pesawat di SMK diragukan banyak pihak. Nyatanya, ini justru jadi pemicu bagi sekolah penerbangan untuk bisa menunjukkan kompetensinya.

Tedi menjelaskan, pemilihan pesawat Jabiru disesuaikan dengan perkembangan di dunia dari jenis logam aluminium ke komposit. Pesawat ini bersayap tetap sehingga faktor keamanan jauh lebih tinggi.

”Kalau pas terbang ada masalah, pesawat masih bisa melayang-layang,” ujar Tedi.

Selain itu, jumlah pesawat Jabiru di Indonesia juga cukup banyak. Federasi Aero Sport Seluruh Indonesia mencatat ada 13 unit. Hal ini memudahkan pihak sekolah untuk belajar dalam perakitan pesawat sejenis.

”Dengan empat penumpang, kami mau memberi kesempatan untuk mengajak siswa terbang. Ini supaya mereka mencintai kedirgantaraan,” lanjutnya.

Menurut Tedi, siswa punya kesempatan belajar pesawat yang sesungguhnya. Mereka bisa melihat pesawat yang dirakit berfungsi baik. ”Tinggal menunggu terbang saja,” ujarnya.

Sebelum merakit pesawat di sekolah, guru dan siswa berlatih di PT Dirgantara Indonesia (DI) Bandung. Lalu, proses perakitan dimulai di sekolah. Tim siswa yang dibentuk sekolah serta guru didampingi pegawai dari PT DI tiap kali perakitan.

Tim perakit pesawat Jabiru dibagi dua gelombang yang masing-masing melibatkan 10 siswa. Mereka bekerja seusai jam belajar, pukul 16.00-20.00.

Meskipun pesawat Jabiru sudah terakit sempurna, sekolah tetap menyiapkan generasi perakit berikutnya. Ada 11 siswa yang masuk ke tim ini.

Ignatius Slamet, Wakil Kepala SMKN 12 Bidang Hubungan Industri dan Masyarakat, mengatakan, generasi perakit Jabiru yang baru tetap disiapkan sekolah. Tujuannya untuk transfer ilmu.

”Kami selalu siapkan tim untuk mengantisipasi jika ada kebutuhan tenaga perakitan pesawat,” ujar Ignatius.

Pemeliharaan pesawat

Oleh karena SMKN 12 Bandung sudah memiliki pesawat yang perlu perawatan, mulai tahun ajaran 2012 dibuka jurusan pemeliharaan pesawat atau maintenance. Keahlian ini diperlukan seiring dengan pertambahan jumlah pesawat di Indonesia.

Menurut Edy, dulu di Indonesia ada industri manufaktur pesawat terbang sehingga membutuhkan tenaga madya setingkat SMK. Namun, sekarang tidak menonjol lagi, lebih pada pembuatan komponen-komponen saja.

Lulusan SMKN 12 bukan hanya diburu industri pesawat terbang dan perusahaan penerbangan. Industri otomotif hingga perkeretaapian juga melirik lulusan sekolah ini.

Kalau ada pekerjaan yang overload di industri penerbangan, ada juga yang dikerjakan di sekolah ini dengan melibatkan siswa. Tentu saja tetap diawasi teknisi berlisensi.

Butuh lisensi

Bekerja di industri pesawat terbang atau perusahaan penerbangan butuh lisensi. Tanpa lisensi, lulusan hanya berstatus sebagai helper teknisi berlisensi. Untuk bisa mendapat lisensi, harus ada pengalaman kerja di perusahaan sejenis dan usia minimal 19 tahun.

Di Indonesia ada program SMK +1 atau +2, tetapi implementasinya semacam diploma. Yang dibutuhkan bukan ijazah diploma, melainkan lisensi, yakni kemampuan terhadap kompetensi siswa.

Edy berharap Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dapat membantu siswa SMK penerbangan agar bisa mendapat lisensi. Ini untuk mengangkat martabat bangsa dengan memiliki lulusan SMK penerbangan yang berlisensi sesuai kompetensinya.

Demi memperjuangkan dapat lisensi, sekolah bekerja sama dengan salah satu lembaga aviasi di Malaysia. Dalam waktu dekat, 25 siswa akan mengikuti program ini ke Malaysia. Biayanya Rp 40 juta-Rp 50 juta, termasuk biaya hidup dan pelatihan.

Sekolah menyambut baik tawaran Malaysia ini. Siswa menamatkan tiga tahun di SMK, lalu belajar enam bulan di Malaysia, sambil on the job training di Malaysia untuk dapat sertifikat. Kalau diteruskan dalam satu tahun lagi dapat lisensi.

Menurut Edy, SMKN 12 Bandung memiliki kompetensi lengkap untuk mendukung industri pesawat terbang dalam negeri, seperti cita-cita awal pendirian sekolah ini. Jadi keahlian lengkap dari produksi sampai ke pemeliharaan.

Permintaan akan tenaga maintenance juga tinggi. Ini disebabkan pesawat-pesawat harus dipelihara untuk menjamin keselamatan penerbangan.
 

Sumber :
Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar