Tongkonan di Tanah Toraja mempunyai fungsi
sosial, budaya, dan adat yang berbeda-beda. Salah satu fungsinya yaitu
sebagai tempat untuk menyimpan jenazah.
SUASANA masih pagi.
Ketika kabut perlahan menghilang di sebuah bukit kecil samar-samar mulai
nampak atap dari bangunan kecil. Ujung atapnya tampak seperti tanduk
kerbau namun tak seruncing aslinya. Atap tersebut bukan lagi terbuat
dari alang-alang seperti bangunan aslinya tetapi sudah tergantikan
dengan seng. Bangunan dengan atap meruncing itu bernama Baruang
Tongkonan atau biasa disebut Tongkonan, rumah adat orang Toraja.
"Tongkon
artinya duduk. Kata 'an' bisa dikatakan tempat," kata Andre, salah
seorang warga Desa Tondon, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Tongkonan adalah tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah,
dan menyelesaikan masalah-masalah adat. Tangannya lalu menunjuk ke arah
Pegunungan Latimojong,
"Nenek moyang Orang Toraja dari sana, dan
gunung. Dulu, Puang Matua menurunkan tetaa-tetaa Toraja." Puang Matua
artinya Sang Pencipta, atau Maha Esa menurut orang Toraja yang
menciptakan isi bumi seluruh isinya.
Menghadap Ke Utara Hampir
semua rumah orang Toraja menghadap ke arah utara. Hal ini merujuk Puang
Matua berada di kepada dunia yaitu arah utara. Menghadap ke arah Puang
Matua berarti menghormati clan dipercaya selalu akan mendapat berkah.
Ketika penghuni menginjakkan kakinya di luar rumah, maka seluruh
hidupnya akan diserahkan kepada Puang Matua.
Tongkonan sendiri
bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu
dan lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang
mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Tidak ada pelitur atau
pernis, semuanya berasal dari kayu uru, sejenis kayu lokal yang berasal
dari Sulawesi. Kualltas kayunya cukup baik dan banyak dijumpal dijumpal
di daerah Toraja.
Ada tiga bagian dari Tongkonan; kolong (Sulluk
Banua), bagan (Kale Banua) dan atap (Ratiang Banua). Dilihat dari tampak
samping, pembagian ini nampak jelas darn pola struktur kayunya. Pada
kolong nampak ruang kosong dan tertutup pada bagian dindingnya yang
sambungannya dari papan dengan ketebalan sekitar 5-7 cm.
Pada
bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan
timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari
dan aliran angin. Tongkonan mempunyai masing-masing kolom yang berkumpu
pada batu. Kolom utamanya menjadi penyangga struktur atap di sisi
ujungnya.
Tidak ada ketentuan khusus ukuran struktur kayu
Tongkonan, semua berdasarkan ketersediaan bahan baku kayu uru di
pasaran. Pada Kale Banua yang berfungsi sebagai tempat tinggal,
lantainya terdiri dari lembaran papan yang diperkuat dengan struktur
lantai panggung.
Pada bagian ini mempunyai beberapa fungsi lain
seperti ruang istirahat tamu sekaligus ruang upacara syukuran yang
berada di di sisi depan dan sebagai ruang keluarga yang sekaligus
digunakan sebagai ruang menempatkan jenazah pada saat upacara pemakaman.
Pada sisi belakang bangunan terdapat ruang tidur bagi anggota keluarga.
Membutuhkan Dana Besar
Menurut
Andre, membagi struktur Tongkonan itu mudah (maksudnya: merencanakan
kolom). Prosesnya tinggal memasang ujungnya. Beri satu kolom di
tengahnya lalu dibagi. Pembangunan satu Tongkonan bisa menghabiskan dana
sekitar Rp 2-3 milyar.
"Kalau material alangnya saja murah,
sekitar Rp 50-60 juta," katanya lagi, sambil menunjuk sebuah rumah
panggung yang mirip Tongkonan namun lebih kecil. Fungsi bangunan itu
untuk menyimpan hasil panen padi dari sawah keluarga.
Bangsawan
Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari
orang biasanya. Perbedaannya ada di bagian dinding, jendela, dan kolom.
Permukaan kayu ketiga elemen tersebut diukir halus dan detail. Motifnya
ada yang bergambar ayam, babi, dan kerbau. Selain itu diselang-seling
dengan sulur-sulur mirip batang tanaman.
Pada kolom utamanya juga
berfungsi sebagai tempat menggantungkan tengkorak kerbau, sebagai tanda
keberhasilari mengadakan upacara. Bagi orang Toraja, kerbau selain
sebagai hewan temak mereka juga menjadi lambang kemakmuran dan status.
Oleh sebab itu, penyembelihan kerbau selalu menjadi acara yang ditunggu
dalam sebuah pesta.
Pemakaman Sebagai Hajatan Besar
Hari
itu, sekitar akhir bulan Desember 2008, di sebuah Tongkonan di Desa
Tondon, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan tampak lalu lalang orang
sibuk membawa bahan makanan, alat pertanian, alat memasak, kain,
kerbau, babi, bambu, dan kayu. Di depan Tongkonan itu terdapat jalanan
yang merupakan jalan penghubung antara kota Rantempao dengan kota
Palopo, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Temyata hari itu
terdapat upacara pemakaman atau mereka sering menyebut "seorng ada
pesta". Seluruh warga desa terlibat dalam upacara ini termasuk seluruh
keturunan yang dipestakan dari segenap penjuru. Mereka berkumpul bersama
wisatawan yang ingin menyaksikan riuhnya acara tersebut.
Sudah
setahun jenazah Belu Salurante, seorang bangsawan Toraja, menjadi
penghuni Banua Barung-barung (bagian dari rumah orang Toraja). Tepat
setahun setelah meninggal, seluruh keluarga besar dari Salurante
akan memestakan moyangnya ini dengan melaksanakan prosesi pesta pemakaman atau Rambu Solok.
Menurut
orang Toraja, orang yang sudah meninggal dianggap masih sakit. Oleh
karena itu jenazahnya disimpan di dalam ruang tengah rumah mereka.
Jenazah itu masih dianggap sebagai bagian kelaurga yang masih
hidup. Ketika saat makan pun, ada bagian tersendiri untuk yang sudah meninggal ini.
Sebelum
prosesi Rambu Solok dimulai, satu kerbau dipotong di halaman rumah
terlebih dahulu. Jumlah dan kerumitan ukiran di permukaan kayo di
Tongkonan melambangkan status pemiliknya. Bangsawan Toraja memiliki
Tongkonan dengan pahatan bermotif seperti kerbau. Sedangkan kaum biasa
Tongkonannya tidak berukir sebagai tanda penghormatan.
Peti
jenazah Belu Salurante yang berukir sulur-sulur dan tutupnya dicat emas
ini diikat erat oleh tali yang ditumpukan pada bambu bersilangan. Bambu
ini berfungsi untuk membawa peti jenazah. Ada dua perempuan duduk
dibambu tersebut dan memakai baju hitam. Badannya bergoyang ke kanan
kiri ketika para lelaki warga Desa Tondon dan anggota keluarga Salurante
beramai-ramai bergantian menggotongnya.
"Heyaaa heee, heyaaaa
heee,' teriak para lelaki menyemangati din mereka sendiri. Jarak yang
dilalui iring-iringan ini sekitar 5 km, memutar dari rumah Belu
Salurante ke Tongkonan yang lain. Di belakang para lelaki, mengikuti
orang tua dan ibu-ibu yang membawa kain panjang berwarna merah. Di sisi
kanan kiri jalan, warga Desa Tondon menyambut clan memberikan
penghormatan terakhir bagi bangsawan.
Peti jenazah tersebut lalu
disimpan di dalam Tongkonan sebelum dimasukan ke dalam Lung-Bang (makam)
keluarga di tebing timur desa. Dalam proses pemindahan peti ke makam
tebing akan diadakan kembali pests penyembelihan kerbau.
Itulah
ragam fungsi yang diemban oleh Tongkonan. Selain sebagai tempat
berkumpul juga sebagai tempat penyimpanan sementara jenazah sebelum
dibawa ke makam nun jauh di tebing sana. (Tabloid Rumah/Danu Primanto)
Tongkonan di Tanah Toraja mempunyai fungsi
sosial, budaya, dan adat yang berbeda-beda. Salah satu fungsinya yaitu
sebagai tempat untuk menyimpan jenazah.SUASANA masih pagi.
Ketika kabut perlahan menghilang di sebuah bukit kecil samar-samar mulai
nampak atap dari bangunan kecil. Ujung atapnya tampak seperti tanduk
kerbau namun tak seruncing aslinya. Atap tersebut bukan lagi terbuat
dari alang-alang seperti bangunan aslinya tetapi sudah tergantikan
dengan seng. Bangunan dengan atap meruncing itu bernama Baruang
Tongkonan atau biasa disebut Tongkonan, rumah adat orang Toraja.
"Tongkon
artinya duduk. Kata 'an' bisa dikatakan tempat," kata Andre, salah
seorang warga Desa Tondon, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Tongkonan adalah tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah,
dan menyelesaikan masalah-masalah adat. Tangannya lalu menunjuk ke arah
Pegunungan Latimojong,
"Nenek moyang Orang Toraja dari sana, dan
gunung. Dulu, Puang Matua menurunkan tetaa-tetaa Toraja." Puang Matua
artinya Sang Pencipta, atau Maha Esa menurut orang Toraja yang
menciptakan isi bumi seluruh isinya.
Menghadap Ke Utara Hampir
semua rumah orang Toraja menghadap ke arah utara. Hal ini merujuk Puang
Matua berada di kepada dunia yaitu arah utara. Menghadap ke arah Puang
Matua berarti menghormati clan dipercaya selalu akan mendapat berkah.
Ketika penghuni menginjakkan kakinya di luar rumah, maka seluruh
hidupnya akan diserahkan kepada Puang Matua.
Tongkonan sendiri
bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu
dan lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang
mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Tidak ada pelitur atau
pernis, semuanya berasal dari kayu uru, sejenis kayu lokal yang berasal
dari Sulawesi. Kualltas kayunya cukup baik dan banyak dijumpal dijumpal
di daerah Toraja.
Ada tiga bagian dari Tongkonan; kolong (Sulluk
Banua), bagan (Kale Banua) dan atap (Ratiang Banua). Dilihat dari tampak
samping, pembagian ini nampak jelas darn pola struktur kayunya. Pada
kolong nampak ruang kosong dan tertutup pada bagian dindingnya yang
sambungannya dari papan dengan ketebalan sekitar 5-7 cm.
Pada
bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan
timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari
dan aliran angin. Tongkonan mempunyai masing-masing kolom yang berkumpu
pada batu. Kolom utamanya menjadi penyangga struktur atap di sisi
ujungnya.
Tidak ada ketentuan khusus ukuran struktur kayu
Tongkonan, semua berdasarkan ketersediaan bahan baku kayu uru di
pasaran. Pada Kale Banua yang berfungsi sebagai tempat tinggal,
lantainya terdiri dari lembaran papan yang diperkuat dengan struktur
lantai panggung.
Pada bagian ini mempunyai beberapa fungsi lain
seperti ruang istirahat tamu sekaligus ruang upacara syukuran yang
berada di di sisi depan dan sebagai ruang keluarga yang sekaligus
digunakan sebagai ruang menempatkan jenazah pada saat upacara pemakaman.
Pada sisi belakang bangunan terdapat ruang tidur bagi anggota keluarga.
Membutuhkan Dana Besar
Menurut
Andre, membagi struktur Tongkonan itu mudah (maksudnya: merencanakan
kolom). Prosesnya tinggal memasang ujungnya. Beri satu kolom di
tengahnya lalu dibagi. Pembangunan satu Tongkonan bisa menghabiskan dana
sekitar Rp 2-3 milyar.
"Kalau material alangnya saja murah,
sekitar Rp 50-60 juta," katanya lagi, sambil menunjuk sebuah rumah
panggung yang mirip Tongkonan namun lebih kecil. Fungsi bangunan itu
untuk menyimpan hasil panen padi dari sawah keluarga.
Bangsawan
Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari
orang biasanya. Perbedaannya ada di bagian dinding, jendela, dan kolom.
Permukaan kayu ketiga elemen tersebut diukir halus dan detail. Motifnya
ada yang bergambar ayam, babi, dan kerbau. Selain itu diselang-seling
dengan sulur-sulur mirip batang tanaman.
Pada kolom utamanya juga
berfungsi sebagai tempat menggantungkan tengkorak kerbau, sebagai tanda
keberhasilari mengadakan upacara. Bagi orang Toraja, kerbau selain
sebagai hewan temak mereka juga menjadi lambang kemakmuran dan status.
Oleh sebab itu, penyembelihan kerbau selalu menjadi acara yang ditunggu
dalam sebuah pesta.
Pemakaman Sebagai Hajatan Besar
Hari
itu, sekitar akhir bulan Desember 2008, di sebuah Tongkonan di Desa
Tondon, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan tampak lalu lalang orang
sibuk membawa bahan makanan, alat pertanian, alat memasak, kain,
kerbau, babi, bambu, dan kayu. Di depan Tongkonan itu terdapat jalanan
yang merupakan jalan penghubung antara kota Rantempao dengan kota
Palopo, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Temyata hari itu
terdapat upacara pemakaman atau mereka sering menyebut "seorng ada
pesta". Seluruh warga desa terlibat dalam upacara ini termasuk seluruh
keturunan yang dipestakan dari segenap penjuru. Mereka berkumpul bersama
wisatawan yang ingin menyaksikan riuhnya acara tersebut.
Sudah
setahun jenazah Belu Salurante, seorang bangsawan Toraja, menjadi
penghuni Banua Barung-barung (bagian dari rumah orang Toraja). Tepat
setahun setelah meninggal, seluruh keluarga besar dari Salurante
akan memestakan moyangnya ini dengan melaksanakan prosesi pesta pemakaman atau Rambu Solok.
Menurut
orang Toraja, orang yang sudah meninggal dianggap masih sakit. Oleh
karena itu jenazahnya disimpan di dalam ruang tengah rumah mereka.
Jenazah itu masih dianggap sebagai bagian kelaurga yang masih
hidup. Ketika saat makan pun, ada bagian tersendiri untuk yang sudah meninggal ini.
Sebelum
prosesi Rambu Solok dimulai, satu kerbau dipotong di halaman rumah
terlebih dahulu. Jumlah dan kerumitan ukiran di permukaan kayo di
Tongkonan melambangkan status pemiliknya. Bangsawan Toraja memiliki
Tongkonan dengan pahatan bermotif seperti kerbau. Sedangkan kaum biasa
Tongkonannya tidak berukir sebagai tanda penghormatan.
Peti
jenazah Belu Salurante yang berukir sulur-sulur dan tutupnya dicat emas
ini diikat erat oleh tali yang ditumpukan pada bambu bersilangan. Bambu
ini berfungsi untuk membawa peti jenazah. Ada dua perempuan duduk
dibambu tersebut dan memakai baju hitam. Badannya bergoyang ke kanan
kiri ketika para lelaki warga Desa Tondon dan anggota keluarga Salurante
beramai-ramai bergantian menggotongnya.
"Heyaaa heee, heyaaaa
heee,' teriak para lelaki menyemangati din mereka sendiri. Jarak yang
dilalui iring-iringan ini sekitar 5 km, memutar dari rumah Belu
Salurante ke Tongkonan yang lain. Di belakang para lelaki, mengikuti
orang tua dan ibu-ibu yang membawa kain panjang berwarna merah. Di sisi
kanan kiri jalan, warga Desa Tondon menyambut clan memberikan
penghormatan terakhir bagi bangsawan.
Peti jenazah tersebut lalu
disimpan di dalam Tongkonan sebelum dimasukan ke dalam Lung-Bang (makam)
keluarga di tebing timur desa. Dalam proses pemindahan peti ke makam
tebing akan diadakan kembali pests penyembelihan kerbau.
Itulah
ragam fungsi yang diemban oleh Tongkonan. Selain sebagai tempat
berkumpul juga sebagai tempat penyimpanan sementara jenazah sebelum
dibawa ke makam nun jauh di tebing sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar